3EA18
Bab VIII
Pengertian Budaya Organisai dan Perushaan,
Hubungan Budaya dan Etika, Kendala dalam Mewujudkan Kinerja Bisnis Etis
- Karakteristik
Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah
sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi
lainnya. Sistem makna bersama ini adalah
sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.
Robbins (2007), memberikan 7 karakteristik
budaya sebagai berikut :
- Inovasi
dan keberanian mengambil resiko yaitu sejauh mana karyawan diharapkan
didorong untuk bersikap inovtif dan berani mengambil resiko.
- Perhatian
terhadap detail yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi,
analisis, dan perhatian pada hal-hal detil.
- Berorientasi
pada hasil yaitu sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang
teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
- Berorientasi
kepada manusia yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam
organisasi.
- Berorientasi
pada tim yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim
ketimbang individu-individu.
- Agresivitas
yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
- Stabilitas
yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan
Budaya organisasi memiliki fungsi sebagai
berikut :
- Sebagai
penentu batas-batas perilaku dalam arti menentukan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, apa yang dipandang baik atau tidak baik, menentukan
yang benar dan yang salah.
- Menumbuhkan
jati diri suatu organisasi dan para anggotanya.
- Menumbuhkan
komitmen sepada kepentingan bersama di atas kepentingan individual atau
kelompok sendiri.
- Sebagai
tali pengikat bagi seluruh anggota organisasi.
- Sebagai
alat pengendali perilaku para anggota organisasi yang bersangkutan.
Pedoman Tingkah laku
Antara manusia dan kebudayaan terjalin
hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko bahwa
manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua tindakan manusia itu
merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan
merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya sangat kecil.
Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar.
Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi,
sosialisasi, dan enkulturasi.
Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan
pengenalan secara tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap
hasil budaya kegiatan menggauli hasil budaya dengan sungguh-sungguh
sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan
yang baik terhadap hasil karya.
Tujuan apresiasi adalah menumbuhkan kepekaan
dan keterbukaan terhadap masalah kemanusiaan dan budaya, serta lebih
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah tersebut serta menyadarkan kita
terhadap nilai-nilai yang lebih hidup dalam masyarakat, hormat menghormati
serta simpati pada nilai – nilai lain yang hidup dalam masyarakat.
Jadi Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan
pengenalan secara tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap
hasil budaya dan kegiatan menggauli hasil budaya dengan sungguh – sungguh
sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan
yang baik terhadap hasil karya.
- Hubungan
Etika dan Budaya
Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan :
Meta-ethical cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang
yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus
selalu disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita
karena setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda
terhadap kebenaran etika.
Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau
moral dapat digunakan okeh manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan
perangainya. Etika selalu berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran
atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus
selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl
mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana
kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu
tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral sebaiknya disesuaikan dengan
norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik apabila sesuai
dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Sebagai contoh orang
Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid (membunuh anak) adalah tindakan
yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika dan negara lainnya tindakan ini
merupakan suatu tindakan amoral.
- Pengaruh
Etika Terhadap Budaya
Etika seseorang dan etika bisnis adalah satu
kasatuan yang terintegrasi sehingga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya, keduanya saling melengkapi dalam mempengaruhi perilaku antar individu
maupun kelompok, yang kemudian menjadi perilaku organisasi yang akan
berpengaruh terhadap budaya perusahaan. Jika etika menjadi nilai dan
keyakinan yang terinternalisasi dalam budayau perusahaan, maka akan berpotensi
menjadi dasar kekuatan perusahaan dan akhirnya akan berpotensi menjadi stimulus
dalam peningkatan kinerja karyawan.
Terdapat pengaruh yang signifikan antara
etika seseorang dariu tingkatan manajer terhadap tingkah laku etis dalam
pengambilan keputusan. Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti
dan pekau terhadap adanya masalah etika dalam profesinya sangat dipengaruhi
oleh lingkungan, sosial budaya, dan masyarakat dimana dia berada. Budaya
perusahaan memberikan sumbangan yang sangat berartiu terhadap perilaku etis.
Perusahaan akan menjadi lebih baik jika mereka membudayakan etika dalam lingkungan
perusahaannya.
- Kendala
Mewujudkan Kinerja Bisnis
Mentalitas para pelaku bisnis, terutama top
management yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja
Bisnis. Perilaku perusahaan yang etis biasanya banyak bergantung pada kinerja
top management, karena kepatuhan pada aturan itu berjenjang dari mulai atas ke
tingkat bawah.
Faktor budaya masyarakat yang cenderung
memandang pekerjaan bisnis sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan
keserakahan serta bekerja mencari untung. Bisnis merupakan pekerjaan yang
kotor. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat kita memiliki
persepsi yang keliru tentang profesi bisnis. Kendala dalam mewujudkan kinerja
busnus yang etis yaitu :
- Standar
moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih
suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh
keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran,
timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan
keuangan.
- Banyak
perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang
berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi
yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar
perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan
masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal
karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.
- Situasi
politik dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara
politik yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan
masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari
dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang
buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna
memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
- Lemahnya
penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di
pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di
pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis
menegakkan norma-norma etika.
- Belum
ada organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik
bisnis dan manajemen.
Bab IX
Hubungan Perusahaan dengan Stakehoulder,
Lintas Budaya dan Pola Hidup, Audit Sosial
1. PENGERTIAN STAKEHOLDER
Definisi stakeholders menurut Freeman (1984)
merupakan individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan/ atau dipengaruhi
oleh organisasi sebagai dampak dari aktivitas-aktivitasnya. Sedangkan Chariri
dan Ghazali (2007) mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat
bagi stakeholders-nya (shareholders, kreditor,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain).
Mengacu pada
pengertian stakeholders diatas, maka dapat ditarik suatu penjelasan
bahwa stakeholders dapat diartikan sebagai segenap pihak yang terkait dengan
isu dan permasalahan yang sedang diangkat. Secara sederhana stakeholder sering
dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait
dengan suatu isi atau rencana. Lembaga-lembaga telah menggunakan istilah
stakeholder ini secara luas kedalam proses pengambilan dan implementasi
keputusan. Misalnya bilamana isu periklanan, maka stakeholder dalam hal ini
adalah pihak-pihak yang terkait dalam isu periklanan, seperti nelayan,
masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak buah kapal, pedagang ikan ,pengelah
ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta dibidang periklanan, dan
sebagainya.
2. BENTUK-BENTUK STAKEHOLDER
Clarkson membagi stakeholder menjadi dua:
Stakeholder primer dan stakeholder sekunder.
- Stakeholder
primer, adalah ‘pihak dimana tanpa
partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan.’
Contohnya Pemilik modal atau saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen,
penyalur dan pesaing atau rekanan. Menurut Clarkson, suatu perusahaan atau
organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu system stakeholder primer
yang merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok
kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda.
Perusahaan ini juga harus menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan
kelompok ini.
- Stakeholder
sekunder, didefinisikan sebagai pihak
yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak
terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk
kelangsungan hidup perusahaan. Contohnya Pemerintah setempat, pemerintah
asing, kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat.
Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya,
tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu
kelancaran bisnis perusahaan. Pemerintah setempat, pemerintah asing,
kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat.
Sedangkan Kasali dalam Wibisono (2007, hal.
90) membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:
- Stakeholders Internal
dan Stakeholders Eksternal.
Stakeholders internal
adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan organisasi.
Misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholder).
Sedangkanstakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada
di luar lingkungan organisasi, seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau
pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok social responsible
investor, licensing partner dan lain-lain.
- Stakeholders primer,
sekunder dan marjinal.
Tidak semua elemen
dalam stakeholders perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun
skala prioritas. Stakeholders yang paling penting disebut stakeholders primer,
stakeholders yang kurang penting disebut stakeholders sekunder
dan yang biasa diabaikan disebut stakeholders marjinal. Urutan
prioritas ini berbeda bagi setiap perusahaan meskipun produk atau jasanya sama.
Urutan ini juga bisa berubah dari waktu ke waktu.
- Stakeholders tradisional
dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen dapat disebut
sebagai stakeholders tradisional, karena saat ini sudah
berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan
adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan
memberikan pengaruhnya pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti dan
konsumen potensial.
- Proponents,
opponents, dan uncommitted.
Diantara stakeholders ada kelompok
yang memihak organisasi (proponents), menentang organisasi (opponents) dan ada
yang tidak peduli atau abai (uncommitted). Organisasi perlu mengenal stakeholders yang
berbeda-beda ini agar dapat melihat permasalahan, menyusun rencana dan strategi
untuk melakukan tindakan yang proposional.
- Silent
majority dan vokal minority.
Dilihat dari
aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan,
tentu ada yang menyatakan pertentangan atau dukungannya
secara vokal(aktif) namun ada pula yang menyatakan
secara silent (pasif).
3. STEREOTYPE, PREJUDICE DAN STIGMA SOSIAL
Stereotype adalah penilaian terhadap
seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut
dikategorikan. Prejudice atau prasangka sosial merupakan sikap perasaan
orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan
yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Stigma sosial
adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena kepercayaan
bahwa orang tersebut melawan norma yang ada. Contoh stigma sosial dapat terjadi
pada orang yang memiliki kelainan fisik atau cacat mental, anak diluar
pernikahan, homoseksual atau pekerjaan yang merupakan nasionalisasi pada agama
dan etnis seperti menjadi orang yahudi, afrika dan sebagainya.
4. MENGAPA PERUSAHAAN HARUS BERTANGGUNG JAWAB
Tanggungjawab sosial perusahaan
atau corporate social responsibility(CSR) adalah suatu konsep bahwa
organisasi atau perusahaan memiliki suatu tanggungjawab terhadap konsumen,
karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek
operasional perusahaan.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
mucul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa pada dasarnya karakter alami dari
setiap perusahaan adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa
memperdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat dan lingkungan alam. Seiring
dengan meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perushaan, maka
konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang.
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat
didefiniskan sebagai suatu konsep yang mewajibkan perusahaan untuk memenuhi dan
memperhatikan kepentingan para stakeholder dalam kegiatan operasinya mencari
keuntungan. Stakeholder yang dimaksud adalah para shareholder,
karyawan, customer,komunitas lokal, pemerintah, LSM dan sebagainya.
5. KOMUNITAS INDONESIA DAN ETIKA BISNIS
Dalam suatu kenyataan di komunitas Indonesia
pernah terjadi malapetaka di daerah Nabire, Papua. Bahwa komunitas Nabire
mengkonsumsi sagu, pisang, ubi dan dengan keadaan cuaca yang kemarau, tanah
tidak dapat mendukung pengolahan bagi tanaman ini. Kondisi ini mendorong
pemerintah untuk dapat membantu komunitas tersebut. Dari gambaran ini, tampak
bahwa tidak adanya rasa empati bagi komunitas elit dalam memahami pola hidup
komunitas lain.
Dalam konteks yang demikian, maka perusahaan
dituntut untuk dapat memahami etika bisnis ketika berhubungan dengan
stakeholder diluar perusahaannya, seperti komunitas lokal atau kelompok sosial
yang berbeda pola hidup.
6. DAMPAK TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Tanggungjawab sosial perusahaan apabila
dilaksanakan dengan benar akan memberikan dampak positif bagi perusahaan,
lingkungan, termasuk sumber daya manusia, sumber daya alam dan seluruh pemangku
kepentingan dalam masyarakat. Perusahaan yang mampu sebagai penyerap tenaga
kerja, mempunyai kemampuan memberikan peningkatan daya beli masyarakat, yang
secara langsung atau tidak, dapat mewujudkan pertumbuhan lingkungan dan
seterusnya.
Perusahaan yang pada satu sisi pada suatu
waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi
masyarakat, pada satu saat yang sama dapat menjadi sumber petaka pada
lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau bahkan
menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan lain yang lebih luas.
Jadi, perusahaan akan mempunyai dampak
positif bagi kehidupan pada masa-masa yang akan datang dengan terpeliharanya
lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan yang lain sehingga
akan menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya para penentang
pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan secara formal
berpendapat apabila tanggung jawab tersebut harus diatur secara formal,
disertai sanksi dan penegakan hukum yang riil.
7. MEKANISME PENGAWASAN TINGKAH LAKU
Mekanisme dalam pengawasan terhadap para
karyawan sebagai anggota komunitas perusahaan dapat dilakukan berkenaan dengan
kesesuaian atau tidaknya tingkah laku anggota tersebut dengan budaya yang
dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan. Mekanisme pengawasan tersebut
berbentuk audit sosial sebagai suatu kesimpulan dari monitoring dan evaluasi
yang dilakukan sebelumnya.
Monitoring dan evaluasi terhadap tingkah laku
anggota suatu perusahaan atau organisasi pada dasarnya harus dilakukan oleh
perusahaan yang bersangkutan secara berkesinambungan. Monitoring yang dilakukan
sifatnya jangka pendek sedangkan evaluasi terhadap tingkah laku anggota
perusahaan berkaitan dengan kebudayaan yang berlaku dilakukan dalam jangka
panjang. Hal dari evaluasi tersebut menjadi audit sosial.
Pengawasan terhadap tingkah laku dan peran
karyawan pada dasarnya untuk menciptakan kinerja karyawan itu sendiri yang
mendukung sasaran dan tujuan dari proses berjalannya perusahaan. Kinerja yang
baik adalah ketika tindakan yang diwujudkan sebagai peran yang sesuai dengan
status dalam pranata yang ada dan sesuai dengan budaya perusahaan yang
bersangkutan.
Audit sosial pada dasarnya adalah sebuah
metode untuk mengetahui keadaan sosial suatu bentuk organisasi dalam hal ini
korporat. Berkaitan dengan pelaksanaan audit sosial, maka sebuah perusahaan
atau organisasi harus menjelaskan terlebih dahulu tentang beberapa aktivitas
yang harus dijalankan, seperti:
- Aktivitas
apa saja yang harus dilakukan sebagai sebuah organisasi. Dalam hal ini,
sasaran apa yang menjadi pokok dari perusahaan yang harus dituju.
- Bagaimana
cara melakukan pencapaian dari sasaran yang dituju tersebut sebagai
rangkaian suatu tindakan yang mengacu pada suatu pola dan rencana yang
sudah disususn sebelumnya.
- Bagaimana
mengukur dan merekam pokok-pokok yang harus dilakukan berkaitan dengan
sasaran yang dituju. Dalam hal ini keluasan dari kegiatan yang dilakukan
tersebut.
Pelaksanaan auditor sosial yang berpengalaman
biasanya akan bekerja mengukur dan mengarahkan berjalannya sebuah organisasi
berdasarkan pada visi dan misi yang ada. Pada awalnya ia membantu dalam
memberikan segala keterangan tentang berjalannya sebuah organisasi berkaitan
dengan indikator yang harus diperhatikan, sasaran yang ingin dicapai dan
kemudian juga merekam kenyataan sosial yang sedang berjalan dan bagaimana
prosedur penilaiannya.
Audit sosial ini merupakan sistem yang ada
dalam kebudayaan perusahaan yang oleh anggota-anggotanya dipakai untuk
merencanakan kegiatan organisasi yang bersangkutan dan tentunya didasari pada
kebudayaan yang berlaku di organisasi yang bersangkutan.
Freeman, R. E., (1984). Strategic
Management: A Stakeholder Approach, , Boston: Pitman Publishing